Wali Sufi Ibrahim bin Adham, Raja yang Membuang Singgasana Demi Menjadi Hamba Allah

 

Wali Sufi Ibrahim bin Adham, Raja yang Membuang Singgasana Demi Menjadi Hamba Allah

Nikekuko.com -  Ibrahim bin Adham, yang terlahir dengan nama lengkap Ibrahim bin Adham Mansur bin Yazid bin Djabir (Abu Ishak) Al –Idjli, tergolong salah satu sufi pada periode paling awal sekali. Wajar bila namanya kerap terdengar dalam karya-karya mistis para sufi ternama, seperti Jalaluddin Rumi dalam “Masnawi” atau Fariduddin Aththar dalam “Manthiq Ath-Thayr”.

Dilahirkan sebagai pangeran Balkh, sebuah wilayah tempat lahirnya ajaran Buddha. Bisa jadi karena itu kisah pertobatannya kerap dihubungan dengan kisah pertobatan Sidharta Gautama.

Cerita riwayat tentang kehidupan Ibrahim banyak tersebar, dan membuatnya terkenal. Namun, sayangnya, banyak cerita kemudian bercampur mitos tanpa. “Biographical Encyclopedia of Sufis in South Asia” yang  ditulis N. Hanif, literatur tentang Ibrahim bin Adham mengalami banyak perubahan ketika masyarakat mulai menerjemahkan kisah-kisah hidupnya dalam berbagai bahasa. Banyak di antara kisah tersebut yang mulai dibumbui dan akhirnya menjadi mitos.

Ada sebagian penulis mencoba menelusuri silsilah Ibrahim bin Adham hingga ke Abdullah, saudara Ja’far al-Sadiq putra Muhammad al-Baqir, cucu Husain bin Ali, salah satu silsilah keluarga paling penting dalam sejarah Sufi. Akan tetapi sebagian besar penulis percaya bahwa silsilahnya berasal dari Umar bin Khattab. Sejarah kehidupan Ibrahim bin Adham dicatat oleh penulis besar abad pertengahan yakni Ibnu Asakir dan Bukhari.

Kisah  tentang bagaimana pertama kali Ibrahim bin Adham memutuskan untuk meninggalkan semua kekuasaan yang dimilikinya adalah salah satu legenda yang sulit dipastikan keotentikan informasinya. Diantara legenda yang paling terkenal adalah kisahnya yang ditulis al Sulami, yang mengisahkan bahwa awal perubahan terjadi dalam diri Ibrahim bin Adham setelah ia mengalami dua kali pertemuan dengan Nabi Khidir.

Selepas peristiwa tersebut, Ibrahim langsung mengalami perubahan total dalam hidupnya. Ia melepaskan semua yang dimilikinya, dan mulai menempuh jalan ruhani sepenuhnya.

Seperti Sidharta Gautama, Ibrahim bin Adham melakukan pengembaraan, meditasi (perenungan) dan hidup zuhud. Sejarawan sepakat, bahwa sejak melepaskan singasananya, Ibrahim hijrah ke Syam. Tempat tinggalnya tidak tetap, dan sering berpindah. Ia menghindari mengemis atau memohon belas kasihan orang lain. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, Ibrahim bekerja apa saja, mulai dari berkebun dan menjadi karyawan orang lain. Di Syam profil Ibrahim bin Adham sama sekali berbeda dengan sosok yang dikenal oleh masyarakat Khurasan tentang dirinya.

Menurut N. Hanif, beberapa riwayat mengatakan bahwa Ibrahim juga tercatat ikut serta dalam mempertahankan Benteng Thughur, yang terletak di utara Suriah dari serangan Byzantium. Selain itu, ia juga tercatat ikut serta dalam dua ekspedisi militer, dan gugur pada ekspedisi militer kedua melawan Byzantium. Jenazahnya dikebumikan di wilayah kekuasaan Byzantium kala itu, dekat Benteng Sukin, atau Sufana.

Riwayat lainnya menyebutkan bahwa beliau wafat dan dikebumikan di Mesir. Selain di kedua tempat tersebut, ada juga riwayat yang mengatakan bahwa makamnya terletak di Baghdad, di Damaskus, di Yerusalem, dan di Djabala, sebuah wilayah di tepi pantai Suriah.

Kuat dugaan, banyaknya perbedaan pendapat tentang tempat pemakaman Ibrahim bin Adham juga dipengaruhi oleh luasnya legenda tentang Sang Sufi. Setelah meninggalkan singgasananya, Ibrahim bin Adham menjadi milik semua bangsa. Ia berjalan ke mana saja, dan menjadi legenda di tengah-tengah masyarakat.

Sebagaimana layaknya para tokoh besar lainnya, ia menjelma menjadi bintang di segala kebudayaan, dan menjadi tautan mata masyarakat yang disinggahinya. Tak terkecuali, Ibrahim bin Adham bahkan menjadi bintang di dunia Sufistik. Namanya kerap muncul dan diceritakan oleh sufi-sufi besar setelahnya.

Dari sekian banyak kisah tentang perjalanan hidup Ibrahim bin Adham, kisah yang disampaikan oleh Faridu’ddin Attar, dalam “Manthiq Ath-Thayr” (Musyawarah Burung) dan “Tadzkiratul Auliya”, agaknya cukup perjalanan hidup Ibrahim bin Adham setelah melepas singgasana dan menjalani hidup zuhud. Bahasa yang lebih tepatnya, ia “membeli kemiskinan” tersebut secara sengaja dengan semua apa yang dimilikinya.


Seorang laki-laki selalu mengeluh tentang getirnya kemiskinan; maka Ibrahim Adham berkata padanya, “Nak, barangkali kau belum membayar harga kemiskinanmu itu?” Orang itu pun menjawab, “Betapa mustahilnya apa yang Anda katakan, mana mungkin seseorang membeli kemiskinan?”

“Aku, “ kata Ibrahim,” Setidak-tidaknya telah memilih kemiskinan itu seharga kerajaan dunia. Dan aku masih akan membeli sesaat dari kemiskinan ini seharga seratus dunia.”

Pernyataan itu erat dengan apa yang dinyatakan Allah dalam Al Quran Surat At Taubah Ayat 111, “Sesungguhnya, Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga (sebagai balasan) untuk mereka. Mereka berperang pada jalan Allah, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan al-Qur’an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar.”

Di jelaskan dalam kitab “Hilyat al-Auliya” karya Abu Nu’aim, Said bin Harb bercerita, “Suatu ketika, Ibrahim bin Adham tiba di Makkah dan bertamu kepada Ali Abdul Aziz bin Abi Rawad. Syekh Ibrahim membawa kantong yang terbuat dari kulit Biyawak. Kantong itu ia gantungkan di sebuah gantungan. Lalu ia pergi untuk thawaf.”

Bersamaan waktu, Sufyan al-Tsauri, salah satu ulama perawi hadis  dan juga seorang sufi, bertamu ke rumah Abdul Aziz. Syekh Sufyan melihat kantong milik Ibrahim bin Adham dengan pandangan heran. Ia bertanya kepada Abdul Aziz, “Milik siapakah kantong ini?”

“Milik sahabatmu Ibrahim bin Adham.”

Syekh Sufyan mendekati kantong  dan memegangnya. Penasaran ia dengan isinya, dana mengira isinya adalah buah-buahan yang dibawa Ibrahim dari Syiria. Sufyan Tsauri  yang penasaran akhirnya membukanya. Ia kaget manakala isinya ternyata tanah.  Hanya tanah.

Pada saat Ibrahim bin Adham selesai thawaf dan kembali ke penginapan, Abdul Aziz menceritakan perbuatan Sufyan kepada Ibrahim. “Tadi temanmu, Syekh Sufyan ke sini. Dia penasaran pada isi kantongmu. Isinya ternyata hanya tanah. Apa benar, ya Syekh?”

Ibrahim bin Adham menjawab, “Begitulah adanya.”

“Untuk apa?” Abdul Aziz ikut penasaran.

“Itu adalah makananku sejak sebulan lalu.” Jawab Ibrahim. Abdul Aziz pun diam tak lagi bertanya.

Riwayat lain, Abu Muawiyah al-Aswad bercerita, “Aku pernah melihat Ibrahim bin Adham memakan tanah selama 20 hari. Setelah itu, Ibrahim berkata kepadaku, “Wahai Muawiyah, seandainya aku tidak takut jiwaku diketahui orang-orang, tentu aku hanya akan makan tanah sampai tutup usia ketika aku menemui Allah. Sehingga rezeki halal bagiku benar-benar bersih. Dari mana pun asalnya.”

Di dalam kitab “Hilyat al-Auliya” disebutkan alasannya, yakni agar apa yang dimakannya benar-benar dari sesuatu yang halal. Sebab dalam ajaran Islam, setiap makanan yang mengandung unsur haram kelak bisa menyalakan api di dalam neraka. Api itu akan membakar orang yang makan barang haram.