Legenda Batu Panco Curup Utara


kawasan batu panco
kawasan batu panco

Dahulu kala didaerah Bengkulu tepatnya  disebuah  desa yang dikenal dengan Desa Batu  yang  sangat kecil,  hiduplah seorang pemuda tampan, yang bernama Gading. Pemuda tersebut tinggal sebatang kara disebuah rumah yang sederhana, Gading tidak memiliki sanak saudara. Setiap hari dia selalu berkerja dengan rajin, masyarakat sangat senang sekali dengan pemuda tersebut karena kerajinan dan kesederhanaanya. Dia mempunyai perilaku yang sopan terhadap orang tua. Dia pun terkenal sebagai pemuda yang suka menolong, jadi banyak orang menganguminya. Tidak jauh dari desa tersebut ada sebuah desa yang dikenal dengan desa Dusun Sawah, disana tinggallah masyarakat yang sebagian besar penduduknya mayoritas kaya raya yang bermata pencaharian sebagai petani sawah sehingga  terkenal dengan masyarakat yang mapan, sangat berbeda sekali dengan desanya Gading yang masyarakatnya selalu kekurangan.

Suatu hari ada seorang pemuda sombong, pemuda tersebut berasal dari desa Dusun Sawah, pemuda tersebut bernama Tukiram. Pemuda tersebut sangat terkenal dengan kesombonganya, beliau adalah anak seorang pemimpin desa Dusun Sawah. Pemuda tersebut memiliki sikap yag kurang disukai oleh masyarakat desa Dusun Sawah karena kesombongannya. Ditambah lagi bahwasanya pemuda tersebut memiliki keluarga bangsawan yang menguasai desa tersebut.

Suatu hari pemuda dari desa Dusun Sawah tersebut berkunjung ke Desa Batu. Tukiram pemuda sombong tersebut ingin melihat suasana desa tersebut. Beliau mendapat kabar desa tersebut terkenal dengan banyak bebatuan dan masyarakatnya banyak yang miskin. Oleh karena itu Tukiram ingin sekali berkunjung kesana sekaligus ingin melihat suasana desa tersebut. Diperjalanan Tukiram sang pemuda sombong tersebut bertemu dengan seorang ibu tua. “Hai ibu tua.. tahukah kamu dimana desa miskin yang katanya disana banyak orang miskin ujar pemuda sombong”. Maaf nak desa mana yang ananda maksud ujar ibu tua “ Waduhh tolol sekali, saya pikir ibu tahu…..jangan-jangan ibu ini tinggal didesa miskin tersebut soalnya cara berpakaianya tidak mencerminkan orang kaya”, sahut  Tukiram sang pemuda sombong. Kemudian Tukiram tersebut melanjutkan perjalannya.

Selama dalam perjalanan menuju desa Batu, Tukirman selalu mengoceh “ Waduh begitu jeleknya jalan disini, banyak sekali rumput tajam dan tidak pernah saya lewat jalan yang begitu buruk seperti  ini, dan  desanya pun belum tampak. Dalam perjalanan pemuda tersebut bertemu dengan seorang wanita asli penduduk  desa Batu. Hai wanita jelek, ujar pemuda sombong, saya mau bertanya, “tahukah kamu dimana desa Batu”. Maaf bisakah saudara sopan sedikit bila bertanya…”hmmm ooooo jadi kamu marah ya……hmmm siapa nama kamu? Tahukah kamu sekarang sedang berbicara dengan siapa? Kamu sedang berbicara dengan orang paling kaya didesa Dusun Sawah…hati-hati kalau berbicara…..”, Kata Tukiram.

“Maaf tuan saya tidak perlu tahu siapa tuan, yang jelas tuan tidak memiliki etika dalam bertanya. Sebagai seorang yang memiliki tata krama pastilah beliau berbicara dengan santun apalagi tuan bilang kalau tuan orang kaya tentunya lebih memahami hal tersebut”. Sudahlah… saya tidak butuh ceramah dari anda dan saya juga tidak ada pentingnya bertanya dengan wanita sejelek dirimu….” Tukiram melanjutkan kembali perjalanan dengan keadaan kesal..” Dalam perjalanan  Tukiram si pemuda sombong mampir di sebuah warung kecil dan tidak jauh lagi yang sudah dekat dengan desa Batu. Disana pemuda tersebut beristirahat sambil bertanya kepada penjual warung. “Hai nenek tua….Ada makanan apa saja disini? saya lapar…”. “Maaf tuan makanan apa yang tuan inginkan…disini nenek hanya menjual kue getuk…tuan mau…”, jawab nenek.  “Apa??? Getuk??? makan yang sangat menjijikan, saya sangat tidak suka dengan makan getuk tersebut…waduhh susah sekali ya….mendapatkan makan yang enak disini…” ketus Tukiram si pemuda sombong.

“Begini saja nek, tolong  ambilkan saya air putih, saya haus….”, Tukiram pada nenek. “iya tuan…” nenek tersebut menggelengkan kepala sambil  berucap, Astaghfirullah, siapakah pemuda ini, begitu sombongya. Kemudian pemuda itu melanjutkan perjalanan kembali, diperjalanan pemuda sombong bertemu dengan seorang ibu yang sedang mencari kayu di hutan. “Hai ibu, saya mau bertanya, dimanakah letak desa yang katanya banyak terdapat batu dan terkenal dengan masyarakatnya banyak yang miskin?” Tanya Tukiram. “Maaf siapa bilang desa tersebut miskin, saya berasal dari desa tersebut, saya rasa tuan salah, desa kami desa yang sederhana, walaupun sederhana tapi desanya tentram dan harmonis, ditambah lagi kekeluargaan kami sangat erat”, jawab si ibu. “Ohhhhhhh begitu dimana tempatnya?” tanya Tukiram. “Tuan berjalan lurus nanti tuan akan bertemu dengan sebuah rumah, rumah tersebut tinggallah seorang pemuda yang bernama Gading, tanyakan saja pada pemuda tersebut”, Jawab si ibu. “Oke kalau begitu”, Tukiram langsung pergi tanpa mengucapkan ucapan terima kasih.

Tukiram langsung menuju desa tersebut, disana Tukiram menemukan gubuk yang sangat sederhana. “Halo…halo…apakah ada orang disini….halo…halo…. Tukiram berulang - ulang memanggil namun tidak sama sekali ada tanggapan”. Tukiram melanjutkan perjalanan dan sepanjang perjalanan melihat banyak sekali bebatuan. “Hmm desa ini sangat berbeda sekali dengan desa Dusun Sawah, disini banyak sekali batuan…Kalau desa ini saya bangun pabrik mugkin ini bagus sekali…ini rencana saya”. Kata Tukiram
Tanpa disadari, tiba-tiba ada seorang pemuda. Pemuda tersebut adalah Gading. “Hai tuanku, siapa tuan, mengapa tuan berada disini?” tanya Gading. Jawab Tukiram “Berani sekali kau wahai pemuda bertanya seperti itu kepada saya,  terserah saya kalau saya mau berada disini….Siapakah engkau?”. “Maaf perkenalkan saya Gading penduduk desa ini....” jawab Gading.
“Oo…….Gading namamu, ada berapa jumlah masyarakat disekitar sini wahai Gading?” tanya Tukiram. “Lebih kurang 200 KK”, jawab Gading. Ada apa gerangan tuan menanyakan jumlah warga disini, tidak biasanya ada orang yang bertanya jumlah penduduk disini”, tanya Gading. “Hmm….. saya ingin  kamu kumpulkan masyarakat di desa ini, katakan kepada mereka bahwa untuk mengosongkan desa ini minggu depan karena desa sini akan saya buat Pabrik”, perintah Tukiram si pemuda sombong kepada Gading. “Apa???”, Gading sangat terkejut….”Maaf Tuan, siapa gerangan Tuan beraninya menyuruh warga Desa Batu ini untuk pergi meninggalkan desanya sendiri”, tanya Gading. “Saya adalah sang penguasa karena saya orang yang sangat kaya raya, saya ingin menguasai Desa ini, tidak ada satupun yang berhak melarang perintah saya. Sudah banyak wilayah yang sudah saya kuasi, mereka selalu patuh dan takut pada saya, begitu juga dengan Desa Batu ini….. Ha ha ha….” Seru Tukiram.
“Tidakkk Tuan,, Tuan adalah orang baru di Desa ini.  Saya sebagai penduduk Desa ini tidak akan pernah patuh dengan perintah Tuan dan saya juga tidak akan  mengumpulkan masyarakat desa ini untuk pergi meninggalkan desa ini,  saya dan warga tidak takut kepada Tuan”, ungkap Gading kepada Tukiram.
“Ohhhh…..Siapa kamu sebenarnya, berani sekali kau berkata begitu?” tanya Tukiram dengan marahnya kepada Gading. “Tuan tidak perlu tahu siapa saya, Desa Batu ini adalah desa nenek moyang kami. Tidak ada seorangpun yang bisa mengambil Desa ini karena Desa ini adalah Desa asli masyarakat sini, walaupun kami masyarakat disini hidup sederhana tapi kami sangat bahagia hidup di Desa Batu ini” ungkap Gading.

“Ha ha ha ha berani sekali cakap kau pemuda. Kau seperti orang bodoh yang berpura-pura menjadi pahlawan,, ha ha ha..engkau tidak tahu siapa yang berkuasa di Desa seberang Desa Dusun Sawah……siapa yang tidak tahu Tukiram orang yang paling berkuasa di Desa Dusun Sawah dan siapa yang tidak tahu orang yang paling hebat di Desa tersebut, orang tersebut adalah saya Tukiram… Ha ha ha…..” ungkap Tukiram dengan sombongnya.

“Astaghfirullah…. begitu sombongnya Tuan, perlu Tuan ketahui,, sehebat apapun Tuan,, saya tidak akan takut dan tidak akan pernah memberikan Desa ini kepada siapapun, sekalipun kepada orang yang paling hebat seperti Tuan” tantang Gading. “Hmmm….. berani sekali anda berkata seperti itu kepada saya,, anda hanyalah pemuda miskin yang tidak mempunyai apa apa,, kalaupun anda tetap tingggal di Desa ini juga tidak ada untungya,, hhhaaaa ha, kalau miskin tetaplah miskin tidak bisa kau melawan penguasa seperti saya” jawab Tukiram dengan angkuhnya.

“Sekali saya bilang tidak, tetap tidak Tuan Tukiram,, apapun yang terjadi saya tidak akan menyerahkan Desa ini, walupun nyawa saya menjadi taruhannya.. hmmm…” ungkap Gading dengan tegasnya.
“Ohhhhh….. berani sekali anda wahai  pemuda miskin…anda tidak berhak melarang saya begitu juga dengan warga desa Batu ini, semuanya harus tetap ikuti perntah saya. Saya tunggu beberapa hari kedepan, apabila warga Desa ini tidak mau meninggalkan Desa  Batu ini, maka tunggulah akibatnya”,  ancam Tukiram si pemuda Tukiram.

Pemuda sombong tersebut lalu pergi  meninggalkan Desa Batu dengan meninggalkan perintah kepada Gading dan  kembali ke Desa Dusun Sawah. Beberapa hari kemudian pemuda sombong tersebut kembali lagi ke Desa Batu dengan membawa beberapa rombongan Bodigat. Tukiram dengan rombong  Bodigat akan menjalankan  misinya untuk menguasai Desa Batu. Setiba di Desa Batu, Tukiram dan rombongan Bodigat dihadang oleh masyarakat yang menolak kedatangan Tukiram beserta rombongan. Akan tetapi apa mau dikata ternyata merekapun tidak bisa berbuat apa-apa dan akhirnya pemuda sombong dan rombongan bodigat yang kuat tersebut tetap dapat menyingkirkan masyarakat Desa Batu.

Tukiram si pemuda sombong memberi perintah agar seluruh warga untuk pergi meninggalkan Desa Batu ini dan apabila warga tidak mau, maka desa ini akan diambil secara paksa dan digusur oleh rombongan bodigat. Tiba-tiba datanglah Gading, kemudian Gading langsung yang angkat bicara, “Hai Tuan Tukiram,,, tidakah kau mendengar apa yang telah saya katakana tempo hari kepada Tuan, bahwa kami tidak akan menyerahkan Desa Batu ini.  Oleh karena itu, pulanglah Tuan dan ajaklah rombongan Bodigat Tuan untuk pergi meninggalkan Desa Batu ini”. Mendengar ucapan dari Gading, lalu Tukiram sangat marah sekali, beliau sangat geram…”Hai pemuda miskin….Apa yang bisa anda lakukan untuk mempertahankan Desa ini, lihatlah dirimu sendiri, anda tidak mempunyai apa-apa, jadi pergilah anda dan semua warga Desa ini untuk meninggalkan Desa Batu ini”.

“Maaf Tuan Tukiram,  apa yang anda ucapkan tidaklah benar, saya masih mempunyai hati dan jiwa yang baik, tidak seperti tuan yang serakah dan tamak akan kekuasaan” jawab Gading. “Berani sekali anda berbicara seperti itu kepada saya” ketus Tukiram kepada Gading.
 (Suasana tegang dan hiruk pikuk suara masyrakatpun terdengar geram).
Tiba tiba pemuda sombong tersebut berkata kepada Gading, “Oke kalau seprti itu, saya tidak akan mengambil Desa Batu ini, tapi dengan satu syarat anda harus menyiapkan sayembara, apabila dalam sayembara tersebut saya menang maka Desa Batu ini akan jadi milik saya tapi apabila saya kalah, maka desa ini tidak akan jadi saya ambil”. Suasana hening sejenak, masyarakat bingung apa yang akan dilakukan Gading selanjutnya,  sedangkan gading tidak mempunyai apa-apa, warga takut kalau dalam sayembara tersebut Gading  akan kalah. Warga merasa pesimis dan sedih.

“Tuan Tukiram, tidak  perlu kita mengadakan sayembara, kalau memang Tuan menantang saya, saya ingin mengajak Tuan untuk berpanco, itulah yang saya punya,  kedua tangan saya sebagai jaminan untuk Desa ini,  apabila saya kalah dalam berpanco, maka silahkan Tuan menguasai Desa Batu ini. Saya dan warga akan meninggalkan Desa ini. Bagaimana Tuan Tukiram, apakah anda setuju dengan tantangan dari saya?” tanya Gading.

“Ha ha ha ha……. berani sekali anda,, ha ha ha…. dengan sombongnya Tukiram menyetujui  tantangan dari Gading”, jawab Tukiram.
Akhirnya kedua pemuda tersebut Gading dan Tukiram menyepakati tantangan berpanco. Tantangan tersebut dilaksanakan esok harinya, tepatnya di batu datar terbesar di Desa Batu sebagai tempat pelaksanaan pertandingan panco  pada waktu terbitnya matahari setinggi pundak. Warga Desa Batu sangat terkejut sekali dengan permintaan Gading yang mengajak Tuan Tukiram bertanding panco.  Warga Desa Batu mempunyai harapan yang sangat besar kepada Gading agar Gading dapat memenangkan  pertandingan panco tersebut. Wargapun secara bersama-sama mendoakan Gading agar menang.
Ditengah malam sunyi sebelum pertandingan panco esok dimulai, jam 03.00 WIB Gading menyempatkan untuk sholat Tahajud dengan satu harapan dan doa agar Allah SWT memberikan kemudahan kepadanya dan untuk Desa Batu ini. Tanpa disadari, Gading yang begitu tegar, dalam doanya ia meneteskan Air mata sambil berdoa “Ya Allah Engkau Maha Penolong, Engkau Maha Kaya, hambamu memohon berikan kemudahan dan kemenangan agar hamba bisa memberikan yang terbaik untuk Desa Batu ini dan warga masih tetap tinggal di desa Batu ini melalui pertandingan panco besok..Aamiin”. Gadingpun tanpa sadar tertidur diatas sejadah tersebut.

Kukuruyukk waktu subuh telah tiba, azanpun berkumandang menandakan sholat Subuh telah tiba. Lalu Gading mengambil air whudu dan langsung mendirikan sholat Subuh. Setelah selesai sholat, Gading pun bersiap siap menuju tempat akan dilaksanakan pertandingan panco, tepatnya dibatu datar yg cukup besar. Satu-persatupun warga berdatangan untuk menyaksikan pertandingan panco.
Waktu terus berjalan dan sudah menunjukkan pukul 09.00 WIB akan tetapi rombongan Tuan Tukiram belum juga datang, warga dan Gading sudah 4 jam menunggu. Akhirnya yang ditunggupun telah datang dan suasanapun semakin tegang karena rombongan Tukiram hadir lebih banyak dibanding sebelumnya. Tapi itu semua tidak membuat Gading pesimis dengan keyakinan yang kuat Gading pun siap untuk bertanding panco. Tuan Tukiram pun sudah siap untuk bertanding panco.  Gading dan Tukiram menuju batu datar besar untuk melakukan pertandingan panco. Warga melihat pertandingan dengan jarak yang cukup jauh sekitar 3 meter dari arena pertandingan.

Sebelum dimulai perpancoan mereka berdua diberi peraturan dengan 3 sesi dalam berpanco untuk menentukan siapa menjadi pemenang. Waktu pelaksanaan Pancopun telah dimulai dengan hitungan ketiga mereka berdua mulai berpanco. 1……2……3……. Suasana menjadi tegang. Pada sesi 1, Tuan Tukiram menjadi pemenang, dilanjutkan dengan sesi ke 2, suasana tegang dan panas ditambah teriknya matahari pada siang itu. Pada sesi ke 2, Gading menjadi pemenang dan  warga pun bahagia, akan tetapi masih ada sesi ke 3 yang akan menjadi penentu pemenang pertandingan panco. Untuk sesi ke 3  Gading dan Tukiram diberi waktu sejenak untuk berisirahat. Setelah istirahat maka dilanjutkan sesi ke 3 atau sesi terakhir pertandingan panco. Cuaca menjadi berubah mendung, luka ditangan Gading dari sesi 1 dan 2 pun tidak Gading rasakan, hanya satu yang diinginkannya agar dapat memenangkan perpancoan ini. Waktupun telah tiba, perlombaan sesi 3 segera dimulai, kondisi semakin tegang dan panas,  batu datar yang besar secara tidak sengaja mengeluarkan suara dentuman, tapi suara itu tidak menganggu konsentrasi Gading dalam berpanco. Dengan bantuan Allah SWT, tiba tiba berpancoan berakhir dan Gading sebagai pemenang dalam pertandingan panco tersebut. Terjadi keanehan  setelah pertandingan panco, terlihat bekas panco dari siku keduanya yang berbeda, kedua lombang tersebut ada ketika sesi terakhir. Tanpa sadar warga pun bergembira menyambut kemenangan Gading. Tukiram pun tertunduk mengakui atas kekalahannya, dengan kesepakan yang telah disepakai bahwa pemenang adalah Gading maka Desa Batu ini menjadi pemilik Gading dan warga Desa Batu. Masyrakat bersorak gembira sambil memeluk Gading dan mencium batu. Mereka menyakini bahwa batu tersebut menjadi lambang kemenangan dan merupakan suatu keajaiban yang terjadi karena kehendak Allah SWT.

Gading merasa begitu bahagia walaupun tangannya terluka. Datanglah salah satu warga menemui Gading untuk memberi ucapan selamat atas kemenangan yang diraih dan perjuangan karena mempertahankan Desa Batu. Warga bersorak-sorak atas kemenangan Gading dan atas Desa Batu mereka. Dan pada akhirnya berkat Gading dan pertandingan panco, maka warga sepakat untuk memberikan nama Panco dibelakang nama Desa tersebut sehingga menjadi Desa Batu Panco. Sampai sekarang Desa tersebut terkenal dengan sebutan Desa Batu Panco yang warganya terkenal dengan kemakmurannya.