Aksara Rejang Bukti Mereka Sangat Kreatif

Nikekuko- Bengkulu memiliki beragam budaya dan suku salah satunya adalah suku Rejang. Suni ini mayoritas tinggal dikabupaten Rejang Lebong dan berbagai daerah yang mayoritas dihuni loleh masyarakat asli Rejang,

 

nikekuko

Bahasa Rejang sendiri memiliki aksara yang disebut Kaganga, aksara ini memiliki huruf tersendiri yang berupa tarikan garis dan mirip dengan simbol, namun dalam kedudukannya sekarang banyak generasi muda tidak mengenal dan tidak mampu membaca tulisan tersebut.


Sebagaimana halnya bahasa-bahasa daerah yang lain, bahasa Rejang juga mengemban fungsi-fungsi ideal, yaitu sebagai lambang identitas dan kebanggaan etnik, sebagai sarana komunikasi intraetnik, dan sebagai pemerkaya bahasa Indonesi, Fungsi-fungsi ini secara perlahan-lahan mengalami pengurangan, terutama pada generasi sekarang, secara garis besar ada beberapa yang menyebabkan hilangnya eksistensi aksara kaganga yaitu:

  1. Tidak dibelajrkan secara menyeluruh disekolah-sekolah dasar.
  2. Bahan ajar yang digunakan masih standar.
  3. Kurangnya kreatifitas guru dalam mengolah materi
  4. Terbatasnya kemampuan guru dalam mengusai aksara kaganga dan bahasa Rejang, hal ini disebabkan banyaknya guru yang berasal dari luar daerah dan kurangnya sosialisasi dalam pembelajaran aksara kaganga tersebut.


Untuk mencapai keberhasilan pada mata pelajaran muatan lokal dengan materi aksara kaganga dibutuhkan bahan ajar, bahan ajar digunakan untuk membantu guru dalam kegiatan belajar mengajar dikelas, dari proses belajar mengajar ini akan diperoleh suatu hasil yang pada umumnya disebut hasil pengajaran.

Perkembangan aksara erat kaitannya dengan perkembangan budaya yang melingkupinya, berdasarkan sumber-sumber tertulis yang ditemukan. Perkembangan aksara di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh aksara Palawa dari India yang mengalami proses adaptasi dengan unsur budaya lokal. Aksara Palawa terdapat di Funan, Campa, Kamboja, Sunda, Jawa, Kalimantan Timur, dan Sumatera. Di Indonesia, aksara Palawa pertama ditemukan pada prasasti Mulawarman di Kutai dan Purnawarman di Jawa Barat (abad V Masehi) dengan bahasa Sanskerta. Prasasti Sriwijaya abad VII Masehi yang juga mengunakan aksara Palawa tetapi berbahasa Melayu Kuno. Aksara Palawa lambat laun berubah bentuk menurunkan aksara Kawi atau Jawa Kuno yang relatif mirip dengan induknya, selanjutnya aksara ini juga mengalami perkembangan dan perubahan bentuk


Naskah pada umumnya di daerah Sumatera (Batak, Kerinci, Bengkulu, dan Lampung) ditulis pada kulit kayu dan bambu, di Sulawesi (Bugis dan Makassar) serta Filipina pada daun lontar, yang mudah lapuk sehingga umurnya tidak lebih tua dari 200 tahun. Hal ini menimbulkan kesulitan dalam penelusuran asal dari aksaranya. Diduga kuat semua aksara Nusantara di luar Jawa dan Bali berasal dari sumber yang sama yang dianggap berada di kawasan Sumatera Bagian Selatan pada masa kejayaan Sriwijaya. Aksara Pallawa di Sumatera lebih lama digunakan. Kemungkinan hal ini terjadi karena masyarakat yang mengunakannya hidup di pedalaman seperti Bengkulu dan Batak yang terisolasi, daerah juga mendapat pengaruh Islam lebih belakangan dari daerah lainnya Penemuan tulisan asli Nusantara dan Asia Tenggara yang bersumber dari aksara Palawa dapat dibagi menjadi lima kelompok, yaitu :



• Aksara Hanacaraka ; Jawa, Sunda, dan Bali,
• Aksara Ka-Ga-Nga ; Bengkulu (Rejang, Lembak, Serawai, dan Pasemah), Kerinci, dan Lampung,
• Aksara Batak ;Angkola, Mandailing, Toba, Simalungun, Pak Pak, Dairi. dan Karo,
• Aksara Sulawesi ; Bugis, Makasar, dan Bima, dan
• Aksara Filipina ; Bisaya, Tagalog, Tagbanuwa, dan Mangyan.

 


Salah satu dari kelompok tersebut dapat ditemukan pada naskah ulu bahwa salah satu dari perkembangannya dapat terlihat pada aksara Kaganga. Penemuan Aksara kaganga sendiri dapat dapat diungkapkan melalui terjemahan naskah kuno bertuliskan aksara Ka Ga Nga (Glupai) asal temuan ” Situs Ulak Lebar ” Kecamatan Lubuk Linggau Barat. Aksara ini merupakan aksara yang berkembang dan telah diwariskan secara turun temurun pada suku Rejang yang pada umumnya tersebar di provinsi Bengkulu. Mengenal aksara daerah di Indonesia pada dasarnya berasal dari India, termasuk diantaranya aksara Ka Ga Nga. Sejak kapan aksara tersebut masuk ke daerah Bengkulu, siapa dan dari golongan mana yang membawa serta bagaimana cara penyebarannya sampai saat sekarang ini belum terungkap dengan jelas. Tulisan dibambu, tanduk, mengunakan huruf Rencong ada di daerah ini (Melayu Kuno) sesudah tahun 1000 Masehi (abad X-XI). Lebih lanjut lagi E.E.Mc.Kinon dalam Suwandi (2003 : 2) menjelaskan sekitar 1000-2000 tahun yang lalu, bangsa Keling (India) dan Cina sudah mulai datang ke hulu Sungai Batang Hari mencari emas. Abad ke 13 ketika India datang lagi ke Melayu Jambi, mereka menemukan orang-orang di Kerajaan Melayu sudah mempunyai bentuk tulisan sendiri yakni Rencong yang mereka (Cina) sendiri tidak mengerti tulisan tersebut.


Penyebaran aksara Ka Ga Nga banyak terdapat di daerah Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan dan Lampung. Pada dasarnya masyarakat yang daerahnya memiliki aksara sendiri mengaku bahwa aksara yang mereka pergunakan sumber dari satu dasar yang semula terdapat di suatu daerah tertentu, mengunakan bentuk, jumlah huruf dan sistem penulisan sendiri kemudian menyebar dan berkembang ke daerah lain. Karena perbedaan dialek, kebutuhan berbahasa, diperlukan penyesuaian menurut tingkat perkembangan kebudayaan masing-masing, sehingga terjadi perubahan-perubahan huruf dan tanda eja, juga menimbulkan perbedaan beberapa huruf dan istilah pada masing-masing daerah itu. (Lilo)