Sumbangsih Ibnu Sina terhadap Kemajuan Kedokteran Modern

 

Sumbangsih Ibnu Sina terhadap Kemajuan Kedokteran Modern

Nikekuko - Ilmuwan Islam sering disembunyikan sejarah. Ibnu Sina (dikenal Avicenna) bapak kedokteran yang menjadi rujukan Barat. Ibnu Haitham dikenal Barat, ahli sains, falak yang meilhami Boger dan Bacon menciptakan mikroskop dan al-Khwarizmi yang dikenal sebagai Bapak Aljabar

Dengan tingkat kecerdasan di atas rata-rata, pada usia 17 tahun Ibnu Sina atau Avicenna telah memahami hampir seluruh teori kedokteran

kesehatan atau medis selalu menarik perhatian manusia di sepanjang zaman. Karena bagi manusia, kesehatan merupakan kebutuhan asasi yang selalu didambakan.
Tubuh yang sehat artinya tubuh yang terbebas dari penyakit. Maka secara naluriah, manusia akan berusaha menghindarkan penyakit dari dirinya.

Dengan melakukan identifikasi terhadap berbagai penyakit yang diderita manusia, kemudian dilakukan eksperimen untuk menemukan penawarnya, terbentuklah ilmu kesehatan sebagai embrio ilmu kedokteran.

Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu kedokteran juga mengalami perkembangan. Tentunya perkembangan ilmu kedokteran tidak terjadi dalam sekejap, akan tetapi terjadi dengan melewati beberapa tahapan.

Menurut Dr. Mohamed Kamel Hussein ( 1901 – 1977 ), seorang profesor bedah ortopedi Mesir, perkembangan ilmu kedokteran dapat dibagi dalam tiga tahap.

  • Pertama, tahap pengalaman empirisme yang telah ada bahkan dalam masyarakat yang sangat primitif di mana orang bergantung pada pengalamannya dalam usaha mengobati orang sakit. Mula-mula pengalaman itu bersifat pribadi dan individual, kemudian berkembang menjadi pengalaman umum.
  • Kedua, tahap empirisme yang tersistematisasi. Tahapan ini dikembangkan oleh orang-orang Yunani Kuno dengan mengumpulkan data-data dari pengalaman mereka sendiri dan tetangga-tetangga mereka terutama Mesir Kuno yang kemudian data tersebut dipadukan dalam suatu sistem logis yang koheren.
  • Ketiga, tahap sains eksperimental. Bagi Kamel Hussein, lahirnya metode eksperimen tidak muncul dari kualitas istimewa ahli-ahli Barat, namun kemunculannya jauh sebelum itu yaitu saat ilmu pengetahuan Yunani telah berkurang keefektifannya. Dilihat dari konteks tahapannya, kedokteran modern masuk pada tahap ketiga ini. (Mohamed Kamel Hussein, “Arab Medicine and Its Impacts on the European Renaissance”, 224)


Perkembangan kedokteran Islam Pra Ibnu Sina


Masa awal perkembangan kedokteran Islam dimulai dengan gerakan penerjemahan literatur kedokteran dari Yunani dan bahasa lainya ke dalam bahasa Arab yang berlangsung pada abad ke-7 hingga ke-8 M. Penerjemahan ke dalam bahasa Arab dimulai pada masa kekuasaan Bani Umayyah pada periode Khalifah Khalid bin Yazid.

Pada masa Khalifah Khalid bin Yazid, ahli kimia yang terkenal di antaranya adalah Jabir bin Hayyan (w. 769 M). Ia menjadi ahli ilmu kimia dan prosedur-prosedurnya, dan dialah orang yang pertama kali menemukan air raksa (mercury).

Prestasi kedokteran lain selama masa kekuasaan Bani Umayyah adalah rumah sakit yang dibangun di Damaskus. Inilah rumah sakit pertama yang mempunyai peranan besar. (Saharawati Mahmouddin, Studi Konsep Kesehatan Mental Ibn Sina, 50)

Pengalihbahasaan literatur medis meningkat drastis di bawah kekuasaan Khalifah al-Ma’mun dari dinasti Abbasiyah di Baghdad. Sejumlah sarjana Islam terkemuka ikut dalam proses transfer pengetahuan itu.

Tercatat sejumlah tokoh seperti, Yuhanna ibn Masyawayah (w. 857), Jurjis ibn Bakhtisiliu serta Hunain ibn Ishak (808-873 M) ikut menerjemahkan literatur kuno dan dokter masa awal. Tidak hanya menerjemahkan literatur Yunani dan peradaban sebelumnya, para sarjana muslim juga menelurkan karya-karya orisinal mereka sendiri. Di antaranya Ali ibn Sahl Rabban al-Tahari (w. 858 M) dengan karyanya berjudul Firdaws al-Hikmah.

Dengan mengadopsi satu pendekatan kritis yang memungkinkan pembaca memilih dari beragam praktik, karya ini merupakan karya kedokteran Arab komprehensif pertama yang mengintegrasikan dan memuat berbagai tradisi kedokteran waktu itu. (Maryam, Perkembangan Kedokteran dalam Islam, 81)

Abad ke-9 merupakan masa keemasan ( the Golden Age) kemajuan ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam di bawah pemerintahan Khalifah Harun al-Rashid. Termasuk ilmu kedokteran Islam berkembang dengan begitu pesat kala itu.

Salah satunya ditandai dengan berdirinya sejumlah Rumah Sakit di berbagai daerah. Pada masa keemasan itu, Rumah Sakit tidak hanya berfungsi sebagai tempat perawatan dan pengobatan para pasien, namun juga menjadi tempat menimba ilmu para dokter baru.

Tak mengherankan jika penelitian dan pengembangan yang begitu gencar telah melahirkan terobosan ilmu medis baru. Sejumlah nama tokoh dokter yang pengaruhnya sangat besar lahir pada masa itu. Beberapa nama yang populer bahkan hingga saat ini adalah seperti al-Razi, al-Zahrawi, dan Ibnu Sina.

Beberapa penemuan yang dihasilkan oleh para ahli kedokteran pada masa itu di antaranya seperti dalam bidang urologi, Bakteriologi, dan Anesthesia,. Urologi merupakan cabang ilmu kedokteran yang khusus mengenai penyakit ginjal dan saluran kemih serta alat reproduksi.

Setidaknya empat dokter yang banyak mengkaji bidang Urologi, yaitu al-Razi, Ibnu al-Jazzar, al-Zahrawi, dan Ibnu Sina. Mereka berhasil mengembangkan warisan-warisan ilmu medis Yunani dan menciptakan penemuan baru.

Bakteriologi, adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan klasifikasi bakteri. Dokter muslim yang banyak memberi perhatian pada bidang ini adalah al-Razi serta Ibnu Sina.

Sedangkan Anesthesia, suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Ibnu Sina tokoh yang memulai menggulirkan ide menggunakan anesthesia oral. Ia mengakui opium sebagai peredam rasa sakit yang sangat manjur. (Maryam, Perkembangan Kedokteran dalam Islam, 82)

Sumbangsih Ibnu Sina di dunia Islam dan Barat

Ibnu Sina, nama yang tidak asing lagi terdengar ditelinga kita. Namanya tidak hanya masyhur di dunia Islam, bahkan di Barat ia amat terkenal.

Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Husain bin Abdullah ibnu Sina. Lahir di sebuah kota kecil bernama Afshanah, sekarang wilayah Uzbekistan, pada tahun 370 H/ 980 M.

Sosok yang oleh orang Barat biasa disebut Avicenna ini merupakan seorang ilmuan, filosof dan sekaligus dokter. Dengan tingkat kecerdasan di atas rata-rata, pada usia 17 tahun ia telah memahami hampir seluruh teori kedokteran sehingga pada usia yang sangat belia tersebut ia diangkat sebagai konsultan dokter praktisi.

Selain kepakarannya di banyak bidang, ia juga seorang penulis yang produktif. (Ahmad Fuad al-Ahwani, Al-Falsafah al-Islamiyah, 78)

Karya-karyanya membanjiri literatur modern dan mengilhami karya-karya pemikir Barat. Tercatat sekitar 250 karya telah ia telurkan baik dalam bentuk risalah maupun dalam bentuk buku.

Kayanya yang banyak dijadikan rujukan dalam bidang kedokteran di antaranya adalah Qanun fi Tibb. Dalam dunia Barat diterjemahkan dengan nama The Canon of Madicine dan ada pula yang menyebutnya Ensiklopedia Pengobatan.

Selain itu ada juga bukunya berjudul Al-Syifa yang berisi mengenai berbagai jenis penyakit, obatnya sekaligus cara pengobatannya berkaitan dengan penyakit bersangkutan.

Bangunan kedokteran Ibnu Sina tidak bisa dilepaskan dari keberadaannya sebagai seorang filosof. Inilah mengapa bagi Ibnu Sina kedokteran merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang tidak terbatas pada pengetahuan tentang Tuhan saja, tetapi juga alam semesta yang dihasilkan secara mantap dalam rasio.

Kedokteran menurut Ibnu Sina dibagi ke dalam teoritis (nazari) dan praktis (‘amali). Bidang-bidang yang masuk dalam aspek teoritis di antaranya seperti Fisiologi, Anatomi, Patologi, Etiologi dan Simptomatologi.

Adapun dalam aspek teoritis di antaranya seperti ilmu kesehatan dan ilmu pengobatan yang meliputi terapi resimental, dietoterapi, farmakoterapi dan pembedahan. (Saharawati Mahmouddin, Studi Konsep Kesehatan Mental Ibn Sina, 171)

Kontribusi kedokteran Ibnu Sina di dunia Islam lebih lanjut terlihat dalam usahanya untuk memandang manusia secara keseluruhan, sebagai entitas tunggal, di mana raga dan jiwa bersatu dan mencari hubungan kosmis total di mana ia hidup. Dengan kata lain, semangat pemersatu Islam inilah yang menjadikan kedokteran Ibnu Sina berkembang luas dan paling bertahan lama dalam pangkuan peradaban Islam sepanjang sejarah.

Tidak hanya berkontribusi terhadap perkembangan ilmu kedokteran di dunia Islam saja, Ibnu Sina juga memiliki kontribusi besar bagi dunia Barat. Kontribusi besar Ibnu Sina pada dunia Barat terutama tampak dalam karyanya berjudul al-Qanun fi al-Tibb (The Canon of Medicine).

Buku ini merupakan karya ensiklopedia berjumlah 3 jilid, dan mencakup kombinasi sistem medis Yunani dan Arab dengan tambahan pengalaman personal Ibnu Sina. Buku ini membahas tentang penyakit meliputi klasifikasi, penjabaran dan penyebab-penyebabnya, begitu juga tentang fungsi-fungsi bagian tubuh dan berbagai topik lainnya.

Sebenarnya tidak hanya Ibnu Sina seorang tokoh yang berpengaruh terhadap kedokteran Barat ada juga tokoh lain seperti al-Razi. Namun Ibnu Sina mungkin adalah yang paling terkenal.

Bahkan pengaruh Ibnu Sina tidak hanya pada bidang kedokteran, dalam filsafat Ibnu Sina termasuk tokoh rujukan masyarakat Barat Abad Pertengahan. Sehingga secara tidak langsung revolusi sains (the Scientific Revolution) di Barat sebenarnya berakar dari transfer pengetahuan dari para sarjana muslim di antaranya Ibnu Sina.