Restu tak didapat, datangi pengadilan


perkawinan


Juber berteman dengan Marfuah sejak SMP hingga sekarang, ketika mereka telah menginjak usia 25 tahun. Sebenarnya sudah lama Juber memendam rasa suka kepada Marfuah, akan tetapi ia tidak berani untuk mengungkapkan perasaan hatinya, Juber merasa rendah diri karena latar belakang kedua orang tuanya sangat jauh berbeda ( lagunya berbeza kasta).


Orang tua Juber hanyalah seorang buruh petani biasa, sedangkan orang tua Marfuah seorang pengusaha kaya, meskipun demikian, prestasi akademik Juber patut dibanggakan, berkali-kali ia selalu menerima beasiswa, dan sekarang bekerja sebagai peneliti disebuah lembaga penelitian.


Rupanya ia tida bisa memendam perasaannya kepada Marfuah, lebih lama lagi, suatu hari, ia menyampaikan perasaannya tersebut kepada Marfuah, tanpa disangka, gadis pujaan hatinya itu pun menerima cintanya, Juber sangat bahagia dan berniat akan segera melamar Marfuah.


Kini, tibalah pada hari yang ditentukan, orang tua Juber datang kerumah orangtua Marfuah untuk melamarnya, namun, betapa kecewa hati mereka, lamaran tersebut ternyata ditolak mentah-mentah oleh kedua orang tua Marfuah sambil mengatakan bahwa putrinya tidak layak bersanding dengan anak seorang buruh tani.


Kejadian itu membuat Marfuah sedih, padahal sebelumnya ia telah berkali-kali meyakinkan orangtuanya bahwa Juber laki-laki yang baik, cerdas dan taat beribadah, sayang, kegigihan Marfuah tidak membuahkan hasil, orangtua tetap tidak mau menikahkan dirinya dengan Juber sampai kapan pun, selain menganggap tidak sederajat, ternyata mereka sudah mempunyai calon suami untuk Marfuah, yaitu anak salah seorang relasi bisnis mereka, Marfuah menolaknya, ia tidak mau dijodohkan dengan orang yang tidak dicintainya.


Semakin hari hubungan Marfuah dan Juber pun kian dekat, merasa khawatir akan melanggar norma agama dan adat istiadat masyarakat. Mereka sepat mendatangi KUA, menyampaikan keinginan mereka untuk menikah. Tentu saja pihak KUA tidak berani menikahkan mereka karena ketiadaan wali dari pihak Marfuah. Pernikahan tersebut ditolak oleh pihak KUA menyarankan supaya melakukan pendekatan lagi terhadap orang tua Marfuah, untuk kesekian kalinya orang tua Marfuah tetap tak mengizinkan. Akhirnya mereka berdua sepakat mengajukan permohonan wali hakim kepada Pengadilan Agama.


Keberadaan wali nikah dalam sebuah perkawinan mempunyai makna hukum yang sangat berarti. Tanpa dirinya, pernikahan dianggap tidak pernah terjadi, laa nikah bi laa waliiyyin ( tidak ada nika tanpa wali). Dalam masalah lain, misalnya memberi nafkah, menyekolahkan yang notabene merupakan tanggung jawab wali, dalam hal ini adalah ayah posisi wali masi bisa diambil alih oleh orang lain. Namun tidak untuk perkawinan. Adanya syarat wali dalam pernikahan menunjukkan betapa Islam menempatkan wali pada kedudukan yang mulia. Penghargaan ini, tentu bukan tanpa alasan. Wali sejatinya seorang yang mengayomi, memberikan nafkah lahir batin berupa materi dan kasih sayang, serta pendidikan yang memadai. Oleh karena sebab itu, sudah selayaknya atas kepayahan tersebut seorang anak perempuan yang akan menikah harus mendapat izin dari wali. Berbeda dengan anak laki-laki, ia tidak memerlukan wali, Meskipun demikian, bukan berarti ia bebas melangkah sendiri, tanpa menghiraukan keberadaan orangtua.