Kompleks Islam Tertua di Bali, Berawal dari Kisah Raja Gelgel dan 40 Pasukan Prajurit Majapahit

 

 
Kompleks Islam Tertua di Bali, Berawal dari Kisah Raja Gelgel dan 40 Pasukan Majapahit


Nikekuko - Selain dikenal kompleks Islam di Bali, Desa Kampung Gelgel juga diketahui sebagai salah satu objek wisata religius. Toleransi antar umat beragama di kawasan ini acap memicu rasa penasaran wisatawan asing maupun dalam.

 

Kedekatan Kerajaan Klungkung pada Islam di Bali terjalin begitu dekat, sebagai gambaran kedekatan antara mereka, pada setiap  bulan Ramadhan, Raja Klungkung beserta kerabat kerajaan melakukan kunjungan sambil ikut " Buka Bersama" dengan pemimpin umat Islam di Masjid Nurul Huda yang menjadi bukti kedekatan mereka.

 

Perhatian Raja Klungkung, berawal dari kisah Dalem Ketut Ngelesir, Raja  Gelgel yang memerintah pada 1383 dan berpusat di Desa Gelgel saat ini. Diketahui, semula Kerajaan Gelgel berada di Samprangan, Gianyar. Namun oleh Dalem Ketut Ngelesir kemudian dipindahkan ke Klungkung.

 

Dalem Ketut Ngelesir sendiri naik tahta menggantikan sang kakak, Dalem Samprangan. Saat itu mereka berada di bawah pengaruh Kerajaan Majapahit.

 

Diketahui dari beberapa sumber di disebutkan, ketika menghadiri  sebuah konferensi di Majapahit yang diadakan Prabu Hayam Wuruk pada 1384, Dalem Ketut Ngelesir mendapat keistimewaan.

 

Prabu Hayam Wuruk mempersembahkan 40 prajurit pilihan Majapahit untuk mengawal kepulangan Dalem Ketut Ngelesir ke pulau Dewata. Ke-40 prajurit ini ternyata beragama Islam.

 

Dijelaskan dari buku Majapahit sesudah zaman keemasannya, arkeolog Hasan Djafar menuliskan bahwa Islam diketahui sudah ada di kerajaan Hindu-Buddaha itu sejak 1281 Masehi dan 1368 Masehi, berdasarkan penemuan makam Islam kuno di desa Tralaya, kecamatan Trowulan, kabupaten Mojokerto, yang lokasinya tak jauh dari pusat kerajaan Majapahit. "Mengingat pemakaman ini letaknya tak jauh dari Kedaton, didalam kota Majapahit, dapat disimpulkan ini adalah pemakaman bagi penduduk kota Majapahit dan keluarga raja yang telah beragama Islam," ujar Hasan Djafar.

 

Sebagai bentuk terimakasih, Dalem Ketut Ngelesir memberikan sebidang tanah di sisir timur kerajaan untuk tempat tinggal ke-40 pprajurit.

 

Mereka kemudian mendirikan  Masjid Nurul Huda di awal abad 14 dan sempat beberapa kali mengalami perbaikan sebelum akhirnya dibangun ulang berkonstruksi beton dua lantai pada 1989. Mimbar khotbah masjid tersebut dari kayu jati berukir khas ukiran Bali, motif daun-daunan dan sudah dipertahankan sejak 1836.

 

Sementara itu, para prajurit yang sebagian menetap ini kemudian menikahi perempuan setempat. Dan seiring waktu, mereka tinggal menyebar karena beranak pinak dan menjadi penyebar Islam ke sejumlah kawasan di Bali. Contohnya ke kampung Lebah, Kamasan, Kasamba, Pagayaman, dan kampung Toyapakeh di Pulau Nusa Penida.

 

Saat ini Desa Kampung Gelgel, selain dikenal sebagai pemukiman Islam tertua di Bali, juga diketahui sebagai salah satu objek wisata serup religius.

 

Wisatawan asing dan domestik rupanya penasaran dengan toleransi antar umat beragama yang terjalin di daerah ini. Terlebih sekitar 200 meter dari masjid Nurul Huda yang berada di jalan Waturenggong berdiri pula Pura kawitan pusat Pasek Gelgel Dalem Siwa Gaduh.

 

Toleransi tak hanya sebatas ngaminang. Warga juga kerap menjalankan tradisi ngejot atau saling berkirim makanan saat masing-masing memperingati hari raya keagamaan. Mereka  seperti paham bahwa dalam setiap makanan, misalnya tidak mengandung daging sapi ketika akan diberikan ke warga beragama Hindu.

 

Begitu pula sebaliknya, warga Hindu atau agama lainnya hanya mengirimkan makanan halal kepada saudaranya yang muslim.

 

Ketika warga Hindu memperingati Nyepi, maka warga desa Kampung Gelgel akan membantu tugas para pecalang mengamankan wilayah. Sebaliknya, jika warga Muslim menggelar shalat idul Fitri dan Iduladha, maka warga umat lain akan turun tangan mengatur arus lalu lintas di sekitar lokasi sholat.

 

Toleransi luar biasa ini ikut meningkatkan angka Indeks Kerukunan Beragama (IKB) di Bali.