Mengenal Suku Bangsa Buton Si Mata Biru, Indonesia

Mengenal Suku Bangsa Buton Si Mata Biru

 

Nikekuko - Etnis Buton adalah  etnis suku bangsa yang menempati wilayah Sulawesi Tenggara tepatnya di Kepulauan Buton. Etnis Buton juga dapat ditemui dengan jumlah yang signifikan di luar Sulawesi Tenggara seperti di Maluku Utara, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Maluku, dan Papua dikarenakan migrasi orang Buton di akhir tahun 1920-an.

Sebagaimana suku-suku di Sulawesi kebanyakan, suku Buton juga merupakan suku pelaut. Masyarakat Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok Nusantara dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton. 

 

Persebaran

 

Menurut biasanya, orang Buton adalah masyarakat yang mendiami wilayah kekuasaan Kesultanan Buton. Daerah  itu kini telah menjadi beberapa kabupaten dan kota di Sulawesi Tenggara diantaranya Kota Baubau, 

 

-Kabupaten Buton, 

-Kabupaten Buton Selatan, 

-Kabupaten Buton Tengah, 

-Kabupaten Buton Utara, 

-Kabupaten Wakatobi, 

-Kabupaten Bombana, 

-Kabupaten Muna,

-Kabupaten Muna Barat. 

 

Sejarah

 

Kalau melihat dari Sejarah Suku Buton dan asal usulnya dapat diketahui dengan mengungkapkan lebih dahulu sejarah kedatangan Sipanjonga dan kawan-kawannya, yang dikenal dalam sejarah wolio dengan nama Kesatuannya “Mia Pata Mianan” yang artinya “empat orang” lebih jelasnya dimaksudkan dengan empat pemuka yaitu 

 

Sipanjonga, 

Simalui, 

Sijawangkati dan 

Siuamanajo. 

 

Serta  dengan berpegang pada buku silsilah dari Raja-raja di Wolio, keempat orang tersebut konon menurut riwayat berasal dari tanah Semenanjung Johor (Malaysia) pulau Liya Melayu, di mana tibanya di Buton bisa diperkirakan sekitar akhir abad ke 13 atau setidaknya pada awal abad ke 14. Kira-kira tibanya Sipanjonga dan kawan-kawannya.

 

Pada tahun 1275 bertolaklah salah satu prajurit Kertanagara dari pelabuhan Tuban. Prajurit itu mendarat di daerah muara sungai Jambi dan rebut daerah itu, yang lalu dijadikan daerah takluk bagi kerajaan Singosari. Pada kurun waktu 10 tahun saja, jajahan kerajaan Jawa itu telah dapat diluaskan sampai kedaerah hulu sungai jambi. 

 

Ditegakkan kembali kerjaan Melayu lama didaerah itu, tetapi sebagai negara bagian pada kerajaan Singosari. Sedangkan Pemimpin Melayu dijadikan Raja takluk kepada Baginda Kertanagara.Posisi Kerajaan Melayu menjadi penting kedudukannya, sehingga dalam abad ke 14 seluruh Sumatra kerapkali disebut juga melayu. (H. J. Van Den Berg).

 

Sesuatu kumpulan karya, yang di dapat orang di daerah Jambi, atas perintah Kertanagara diangkut ke melayu dalam tahun 1286. Dengan maksud kertanagara telah jelas, yaitu mendirikan satu kerajaan Jawa di Sumatra tengah, yang akan menjadi pusat kebudayaan Jawa dipulau itu. 

 

 Wilayah Kerajaan Jawa yang di Sumatra itu merupakan suatu bahaya yang besar sekali bagi Sriwijaya. Namun, Sriwijaya terlalu lemah untuk mencegah maksud Kertanagara itu. 



Kekuasaan Sriwijaya telah runtuh pada segenap pihak. Pada bagian Utara Semenanjung Malaka. Separohnya dari daerah Sriwijaya telah direbut kerajaan Siam yang baru saja berdiri. Wilayah  Aceh pun telah mulai pula timbul kerajaan baru, umpamanya kerajaan Perlak dan Kesultanan Samudra Pasai. 

 

Adapun kerajaan baru itu telah menjadi kerajaan islam (yang pertama di Indonesia). Berkaitannya dengan Sriwijaya hampir tidak ada lagi. Kekuasaan kerajaan Pahang pun yang terletak di Semenanjung Malaka, rupanya telah menjadi daerah takluk juga pada kerajaan Singosari, yang telah sejak lama mengakui kekuasaan tertinggi dari Sriwijaya, rupanya terlepas pula dalam zaman itu dan telah menjadi bagian kerjaan Singosari.

 

Rombongan Sipanjonga dan teman-temannya serta pengikut-pengikutnya, sebagai seorang raja di negerinya, yang termasuk di dalam kerjaan Sriwijaya, mengetahui kedudukan Sriwijaya sudah demikian lemahnya, Dia  mengambil kesempatan untuk meninggalkan kerajannya mencari daerah lain untuk tempat tinggalnya dan untuk dapat menetap sebagai seorang raja yang berkuasa dan tibalah mereka di Pulau Buton. 

 

Sesampai Sipanjonga dengan kawan-kawan tidak bersama-sama dan tidak pula pada suatu tempat yang sama dan rombongannya terdiri dalam dua kelompok, dengan tumpangan mereka yang disebut dalam zaman “palulang”.

 

Rombongan  pertama Sipanjonga dengan Sijawangkati sebagai kepala rombongan mengadakan pendaratan yang pertama di Kalaupa, suatu daerah pantai dari raja tobo-Tobo, sedangkan Simalui dan Sitamanajo mendarat di Walalogusi (kira-kira kampung Boneatiro atau di sekitar kampung tersebut Kecamatan Kapontori sekarang). 

 

Dalam waktu pendaratan pertama itu Sipanjonga mengibarkan panji-panji kerajaannya pada suatu tempat tidak jauh dari Kalampa, pertanda kebesarannya. Panji-panji  Sipanjonga inilah yang menjadi panji  kerajaan buton yang disebut “tombi pagi” yang berwarna warni, “longa-longa” bahasa wolionya.

 

Pada saat ditempat di mana pengibaran panji-panji  tersebut dikenal dengan nama “sula” yang sampai sekarang masih dikenal, terdapat di dalam desa Katobengke Kecamatan Wolio, tidak jauh lapangan udara Betoambari. 

 

Selanjutnya keempat pemuka tersebut di atas yang membuat dan meninggalkan sejarah dan kebudayaan wolio, sedangkan kerajaan yang pada zamannya pernah menjadi kerajaan yang berarti, dan merekalah pula yang mengawali pembentukan kampung-kampung, yang kemudian sesuai dengan perkembangannya menjadi kerajaan dan inilah yang dimaksudkan dengan kerajaan Buton, yang sebagai Rajanya yang pertama Ratu I Wa Kaa Kaa.


Di daerah pendaratannya tersebut Sipanjonga dan kawan-kawannya membangun tempat kediamannya yang lambat laun menjadi sebuah kampung yang besar, yang tidak lama setelah pendaratannya itu Rombongan Simalui dan Sitamanajo bersatu kembali dengan Sipanjonga di Kalampa. 

 

Akan tetapi  karena letak tempat tinggal dari Sipanjonga dekat pantai bukanlah suatu hal yang tidak mungkin terjadinya gangguan-gangguan keamanan, terutama sekali dari bajak laut yang berasal dari Tobelo Maluku – masyuurnya gangguan keamanan dari apa yang dikenal dengan tobelo, demikian di takuti sehingga menjadi akta menakuti anak-anak dari kalangan orang tua dengan “jaga otobelo yitu” artinya “awas tobelo itu”.

 

Agar supaya untuk mengindarkan diri dari gangguan keamanan Sipanjonga dan rakyatnya meninggalkan Kalampa menuju arah gunung yang tidak jauh dari tempatnya itu kira-kira 5 km dari tepi pantai di tempat yang baru inilah Sipanjonga dan rakyatnya bermukim. 

 

Oleh sebab di tempat yang baru itu masih penuh dengan hutan belukar maka untuk membangun tempat kediaman mereka ditebasnya belukar-belukar itu, yang pekerjaan menebas itu dalam bahasa wolionya dikatakan “Welia”. Inilah asal nama “Wolio” dan tempat inilah pula yang menjadi tempat pusat kebudayaan Wolio ibu kota kerajaan.

 

Diceritakankan lebih jauh bahwa pada waktu Sipanjonga dan teman-teman menebas hutan belukar di tempat itu didapati banyak pohon enau.

 

Bahkan di atas sebuah bukit bernama “Lelemangura” Rahantulu – Di tempat ini diketemukan putri Raja Wa Kaa Kaa. Makna dari  Lelemangura bahasa Wolio terdiri dari anak kata “lele” dan “mangura”. 

 

Yang artinya Lele bermakna tetap dan mangura mudah. Dan mengandung makna kiasan terhadap putri Wa Kaa Kaa yang karena ditemukan dan dianggap sebagai bayi dalam arti “diberi baru menerima, disuap lalu menganga dan hanya menangis dan tertawa yang dikenalnya”. Maksudnya hakekatnya supaya tetap diingat bahwa Raja adalah “anak” dari Betoambari Bontona Peropa dan Sangariarana Bontona Baluwu Siolimbona pada keseluruhannya

 

Di daearah bukit inilah yang kemudian masyur dengan sebutan Lelemangura. Diantara seorang teman dari Sipanjonga yang bernama Sijawangkati mendapatkan enau dan dengan diam-diam ia menyadap enau itu. 

 

Pada saat  yang empunya enau yang bernama Dungkungeangia datang menyadap enaunya, didapatinya enaunya sudah di sedap orang yang tidak diketahuninya. 

Muncullah emosinya. Ditebangnya sebatang kayu yang cukup besar. Ketika menebang batang kayu itu, timbul dalam pemikirannya betapa besar dan kuat orang yang menebang kayu itu namun tidak menimbulkan rasa takut pada diri Sijawangkati. 

 

Supaya mengimbangi tebangan kayu itu, dipotongnya rotan yang panjangnya satu jengkal yang cukup besar juga, kemudian batang rotan itu disimpulnya. Oleh karena kekuatan simpulan pada batang rotan itu, hampir tidak kelihatan, kemudian diletakkannya di atas bekas tebangan batang kayu itu. Pastilah orang yang menyadap enau saya ini adalah orang yang sakti dan mungkin bukan manusia biasa.

Pada saat waktu secara kebetulan keduanya bertemu di tempat itu. Lalu terjadilah perkelahian yang sengit, yang sama-sama kuat.  

 

Semuanya tidak ada yang kalah. Kemudian keduanya karena sudah kepayahan berdamai. Kesepakatannya  keduanya untuk hidup damai dan saling membantu dan bagi anak cucu mereka dikemudian akan hidup di dalam alam kesatuan dan persatuan. 

 

Karena adanya perdamaian sijawangkai Dungkusangia tersebut maka negeri tobe-tobe masuk dan bersatu dengan Wolio. Lokasi negeri tobe-Tobe itu dari tempat tinggal Sipanjonga +7 KM.

 

Bisa  dijelaskan disini bahwa Dungkusangia dimaksudkan menurut keterangan leluhur adalah berasal dari Cina yang selanjutnya dalam buku silsilah bangsawan Buton dikatakan asal “fari” asal “peri”. Pendapat  Pak La Hude (Sejarawan) dikatakan orangnya amat putih, sama halnya dengan putihnya isi kelapa yang dimakan fari (binatang semacam serangga).


Mata pencaharian

Sebagian masarakat merupakan pelaut, masyarakat Buton juga sejak zaman dulu sudah mengenal pertanian. Hasil pertanian dan perkebunan yang ditanam antara lain padi ladang, jagung, singkong, ubi jalar, kapas, kelapa, sirih, nanas, pisang, dan segala kebutuhan hidup mereka sehari-hari.


Kebudayaan

Masyrakat ernis Buton terkenal pula dengan peradabannya yang tinggi dan hingga saat ini peninggalannya masih dapat dilihat di wilayah-wilayah Kesultanan Buton, diantaranya Benteng Keraton Buton yang merupakan benteng terbesar di dunia, Istana Malige yang merupakan rumah adat tradisional Buton yang berdiri kokoh setinggi empat tingkat tanpa menggunakan sebatang paku pun, mata uang Kesultanan Buton yang bernama Kampua, dan banyak lagi. 


Ke unikan

 

Etnis Buton merupakan salah satu suku di Indonesia yang menempati wilayah di Sulawesi Tenggara.

Ada potret mengenai suku tersebut sukses menarik perhatian publik. Disebabkan lantaran, mayoritas penduduk di sana memiliki mata berwarna biru.


Dapat kita ketahui di Indoneisa sendiri biasanya penduduknya memiliki mata hitam atau coklat gelap. Tetapi, Mata biru sangat jarang dijumpai, biasanya mereka yang memiliki mata tersebut merupakan blasteran dengan bangsa eropa.


Tetapi hal itu justru dengan mudah ditemukan di suku asli Indonesia ini. Ada beberapa mereka memiliki mata  yang bermata biru langka karena Sindrom Waardenburg. Perbandingan sindrom tersebut dialami 1 dari 42.000 orang.


Masyrakat yang memiliki  sindrom ini juga mengalami masalah pada pendengarannya. Oleh karena  itu, defisiensi pigmentasi yang menjadikan mata biru cerah, namun bisa pula hanya sebelah mata saja yang berwarna biru semetara mata lainnya berwarna hitam atau coklat.

Kelainan sindrom disebabkan oleh mutasi dari beberapa gen. Hal ini  mutasi tersebut bisa mempengaruhi sel-sel kista saat masih tahap perkembangan embrio.

Oleh karena itu, seseorang yang terlahir dengan mutasi tersebut akan memiliki mata biru di salah satu atau kedua bola matanya.