Suku Bangsa Talaud Provinsi Sulawesi Utara, Indonesia

 

Suku Bangsa Talaud Provinsi  Sulawesi Utara, Indonesia

Nikekuko - Etnis Talaud merupakan suku bangsa yang menempati gugusan pulau-pulau Talaud kawasan Kepulauan Sangir, Kabupaten Talaud, Provinsi Sulawesi Utara. 

 

Kawasan Kepulauan Talaud merupakan salah satu kabupaten terluar dari negara Indonesia, yang terletak di wilayah perbatasan negara Indonesia dengan Filipina. 

 

Menurut fakta sejarah dahulu kala Etnis Talaud memiliki keterbukaan akan hadirnya bangsa lain dari peran terhadap kepulauan lintasan perdagangan antar bangsa-bangsa pada kawasan utara menuju ke selatan dunia. Wilayah  mereka ini memiliki tiga pulau pusat, yakni 

 

-Pulau Karakelang, 

-Salibabu dan,

-Kabaruan.

 

Artikata lain dari Talaud yakni Taloda, yang mempunyai makna "orang laut". Meskipun ada yang menyebut sebagai Porodisa. 

 

Bahasa Suku Talaud

Adapun bahasa Talaud memiliki enam dialek, yakni 

1. Sali-Babu, 

2. Karakelang, 

3. Essang, 

4. Nanusa, 

5. Miangas, dan 

6. Kabaruan. 

 

Terdapat tingkatan bahasa  yakini,bahasa halus, menengah, dan kasar. Ada separuhnya Suku Talaud memakai bahasa Melayu Manado dalam berbahasa sehari-hari.

Contoh Pemakaian Tiap Fonem Vokal, sebagai berikut:
/inasa/    
'ikan'
/urana/     'hujan'
/esaka/     'laki-laki'
/onasa/     'kotoran'
/awu/     'debu'


Mata Pencaharian Suku Talaud


Hampir separuh masyrakat etnis Talaud mencari ikan merupakan mata pencahariannya,  dan hanya sebagian kecil yang bertani di ladang ataupun bertani merupakan pekerjaan sampingan bagi masyarakat Suku Talaud. 

 

Wilayah Talaud memiliki hasil tanaman ubi-ubian sebagai tanaman utama, walaupun terdapat usaha dalam bercocok tanam untuk tanaman padi. 



Mayoritas warga Suku Talaud kususnya yang mendiami Desa Bowongbaru Pulau Karakelang terlihat hampir sebagian besar masyarakat desa menggeluti hubungan lintas batas dengan negara tetangga Filipina, hal ini dikarenakan keluarga mereka banyak pula yang mendiami di wilayah Filipina. 

 

Etnis ini telah mengenal teknologi dalam membuat perahu untuk penangkapan ikan yang diadopsi dari Filipina, perahu ini yakni pumpboat yang umum digunakan saat ini. Di jumpai  pula perahu atau kapal air dengan tenaga Fuso, yaitu mesin yang digunakan sebagai transportasi truk. 

 

Perjalanan perahu ini berlayar dalam waktu 4-5 jam hingga melabuh di wilayah Filipina. Etnis Talaud yang mendiami kawasan Bowongbaru mempunyai sekitar 200 kapal pumpboat. 


Oleh karena itu menjadikan aktivitas perdagangan antara Suku Talaud dengan Filipina sangat biasa di desa ini.

 

Perahu atau kapal air jenis tersebut begitu efektif dalam menangkap ikan berjenis pelagis, khususnya ikan Tuna. 

 

Kesibukan ekonomi ini sebenarnya telah tersebar di banyak wilayah desa pada kawasan kepulauan Talaud, hal ini menyebabkan mudahnya temuan barang yang berlabel Filipina, seperti halnya minuman-minuman alkohol, minuman-minuman ringan, perlengkapan makan atau minum, dan lain sebagainya. 

 

Begitu banyak  barang dari Davao-Filipina yang telah diperjual-belikan di kawasan Talaud. Kesibukan ekonomi lintas batas ini merupakan aktivitas yang telah ada dari zaman sebelum kemerdekaan. 


Kerjasama perdagangan dan hubungan lintas batas warga Suku Talaud dengan Filipina telah ada sejak lama dan strategi suku kepulauan Talaud sebagi pemenuhan kebutuhan ekonomi dan menjalin hubungan kekeluargaan. 

 

Oleh karena itu pula membuat ketergantungan ekonomi warga Talaud terhadap Filipina yang semakin kuat. 

 

Keadaan hubungan ini yang memiliki timbulnya faktor pengaruh integritas bangsa dalam pertahanan indentitas nasional. Di sebabkan  adanya daya tarik ekonomi yang condong terhadap keuntungan posisi Filipina, pada sisi yang lain perhatian pemerintah Indonesia masih minim dan dianggap belum memuaskan kesejahteraan masyarakat. 

 

Keadaan tersebut, maka dapat diketahui adanya perkembangan kebudayaan Suku Talaud sangatlah terbuka namun juga rentan. 


Sistem Pemerintahan Suku Talaud


Pada saat dulu warga Talaud telah memiliki pengembangan akan sistem social maupun sistem politik dengan pembentukan kerajaan-kerajaan kecil. 

 

Dengan waktu sekarang pengaruh masa kerajaan masih terlihat dalam pelapisan sosial masyarakat. 

Keturunan raja-raja maupun bangsawan lama dinamai dengan kelompok papung, dan golongan bawahnya merupakan rakyat biasa. 

 

Kelompok budak disebut alangnga pada zaman kerajaan terdahulu. Pada masa ini lapisan sosial seperti hal tersebut telah mengalami penipisan yang signifikan dan mulai pudar. 



Kepemimpinan kerajaan Talaud dahulu memiliki pemimpin sebagai seorang ratu atau raja. 

 

Kepala  pemimpin pada lapisan bawahnya terbagi atas orang jogugu sebagai pemimpin sejumlah kampung (wanua) di bawahnya. 

 

Kepemimpinan kampung dinami kapitan laut. Semua kegiatan akan kewajiban kapitan laut ini dibantu oleh sejumlah Dewan Adat dinamai Inanggu Wanua yang merupakan penggabungan antara pimpinan kelompok keluarga luas terbatas yang dinamai timadu ruangana. 


Penegakan bangunan masyarakat suku Talaud sebagian besar pada wilayah pesisir pantai, hal ini dikarenakan mata pencaharian utama yang bersumber dari laut yang lebih dekat dengaan muara sungai. 

 

Kerabat inti Suku Talaud dinamai gaghurang yang mendiami rumah semi permanen yang memiliki istilah bale. 

 

Terdapat keluarga inti membentuk suatu kelompok keluarga yang lebih luas terbatas yang memiliki istilah ruangana. 

 

Anggota keluarga tersebut mendiami rumah besar yang dinamai bale manandu. Pada saat etnis Talaud bekerja bercocok tanam atau melaut dengan jarak yang jauh dari asal kampungnya, maka dengan kondisi terpaksa suku Talaud membangun rumah singgahan sementara yang memiliki istilah sabua bagi suku Talaud. Semacam kampung sering didiami oleh satu ruangana, tetapi pada umumnya terdiri atas tiga sampai empat ruanga. 


Adat Istiadat Suku Talaud


Aktivitas sehari-hari etnis Talaud memiliki berbagai aturan-aturan maupun norma-norma yang telah ada hingga saat ini, dari yang bersumber secara aturan-aturan formal, maupun aturan-aturan adat, atau aturan-aturan agama. 

 

Dapat  tercermin padaa kehidupan suku Talaud yang melakukan upacara adat yang berhubungan dengan lingkaran daur hidup ataupun yang memiliki hubungan sistem mata pencaharian, kesenian, sistem peralatan, dan lain sebagainnya. 

 

Ketetapan peraturan adat di suku Talaud masih terjaga. Oleh karena itu maka keseluruh komponen masyarakat dan para pemimpin, pemerintah maupun yang menjabat sebagai aparat, ataupun tokoh-tokoh adat yang telah dipercayai, memiliki kewajiban dalam berperan aktif untuk kelestarian adat istiadat suku Talaud. 


Adapun etnis Talaud  Pemimpinnya memiliki kewajiban dalam menjaga keutuhan kesinambungan adat istiadat yang berperan dalami fungsi pelindungan adat-istiadat, pelaksanaan pengawasan dan kontrol sosial masyarakat suku Talaud yang mungkin terdapat kasus pelanggaran suatu aturan di suku Talaud.

 

Menurut fungsi hal ini pimpinan adat tidak bisa dijabat oleh sembarang orang, hanya orang-orang yang diyakini atau dipercaya dalam memimpin adat suku Talaud.

 

Kepala adat ini harus memiliki sifat yang patut diteladani dalam kehidupan sehari-hari, sebagai panutan warga. Etnis Talaud memiliki hubungan kekerabatan yang bilateral sifatnya.


Aktivits sosial masyarakat suku Talaud di Kepulauan Talaud selalu melibatkan unsur-unsur atau berbagai elemen masyarakat suku Talaud. 

 

Oleh karena itu yang ditunjukkan dalam kegiatan sosial masyarakat yang ikut andil dalam kegiatan-kegiatan adat tersebut, ada yang ditunjuk langsung oleh kepala adat, ada juga atas inisiatif warga sendiri. 

 

Budaya Suku Talaud


1. Ritual TULUDE



Ritual adat ‘‘Tulude” merupakan hajatan tahunan warisan para leluhur masyarakat Nusa Utara (kepulauan Sangihe, Talaud dan Sitaro) di ujung utara propinsi Sulawesi Utara. 

 

Sejak berabad-abad acara sakral dan religi ini dilakukan oleh masyarakat etnis Sangihe dan Talaud sehingga tak mungkin dihilangkan atau dilupakan oleh generasi manapun. 

 

Adat istiadat ini telah terpatri dalam khasanah adat, tradisi dan budaya masyarakat Nusa Utara. Malahan tradisi budaya ini secara perlahan dan pasti mulai diterima bukan saja sebagai milik masyarakat Nusa Utara, dalam hal ini Sangihe, Talaud dan Sitaro, tetapi telah diterima sebagai suatu adat budaya masyarakat Sulawesi Utara dan Indonesia pada umumnya.

 

Awal, di mana ada komunitas masyarakat etnis Sangihe-Talaud, pasti d Tulude pada hakekatnya adalah kegiatan upacara pengucapan syukur kepada Mawu Ruata Ghenggona Langi (Tuhan yang Mahakuasa) atas berkat-berkat-Nya kepada umat manusia selama setahun yang lalu. 

 

Tetapi, untuk mencari kepraktisan pelaksanaannya, banyak kelompok masyarakat menyelenggarakannya tidak sepenuhnya sebagai sebuah bentuk upacara, tetapi dilaksanakan dalam bentuk ibadah-ibadah syukur, mulai dari tingkat RT, lingkungan, kelurahan, jemaat-jemaat, organisasi rukun dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya.



Tetapi, apapun bentuk pelaksanaannya, hakikat dari Tulude itu sendiri tetap menjadi dasar bagi pelaksanaannya setiap tahun.

 

Di saat masa awal beberapa abad lalu, pelaksanaan upacara adat Tulude dilaksanakan oleh para leluhur pada setiap tanggal 31 Desember, di mana tanggal ini merupakan penghujung dari tahun yang akan berakhir, sehingga sangat pas untuk melaksanakan upacara Tulude. 

 

Pemahaman Tulude itu sendiri adalah menolak atau mendorong dalam hal ini menolak tahun yang lama dan siap menerima tahun yang baru. 

 

Ketika tradisi kafir leluhur masyarakat Sangihe dan Talaud, acara tolak tahun ini diwujudkan dengan upacara di tepi pantai dengan menolak, mendorong atau melepaskan sebuah perahu kecil yang terbuat dari kayu latolang (sejenis kayu yang tumbuh lurus tinggi tak bercabang) dengan muatan tertentu.



Kapal air ini oleh tokoh adat didorong, dilepas atau dihanyutkan ke laut sebagai simbol, segala sesuatu yang buruk di tahun yang akan lewat dibuang atau dihanyutkan ke laut supaya tidak lagi menimpa warga desa setempat di tahun yang baru. 

 

Apabila  perahu tersebut dibawa arus laut dan terdampar di pantai atau desa tetangga, maka orang yang menemukannya wajib menolak dan menghanyutkannya kembali ke laut, karena dipercaya, kalau tidak dihanyutkan lagi, hingga segala malapetaka dan sakit-penyakit yang pernah menimpa masyarakat asal perahu itu, akan berpindah ke tempat di mana perahu itu terdampar.
 

Pada saat agama Kristen dan Islam masuk ke wilayah Sangihe dan Talaud pada abad ke-19, upacara adat Tulude ini telah diisi dengan muatan-muatan penginjilan dan tradisi kekafiran secara perlahan mulai terkikis. 

 

Apalagi, hari pelaksanaannya yang biasanya pada tanggal 31 Desember, oleh kesepakatan adat, dialihkan ke tanggal 31 Januari tahun berikutnnya. Peristiwa ini dilakukan, karena tanggal 31 Desember merupakan saat yang paling sibuk bagi umat Kristen di Sangihe dan Talaud. 

 

Dikarenakan, seminggu sebelumnya telah disibukkan dengan acara ibadah malam Natal, lalu tanggal 31 Desember disibukkan dengan ibadah akhir tahun dan persiapan menyambut tahun baru.



Akirnya kepadatan dan keseibukan acara ibadah ini dan untuk menjaga kekhusukan ibadah gerejawi tidak terganggu dengan upacara adat Tulude, maka dialihkankan tanggal pelaksanaannya menjadi tanggal 31 Januari. 

 

Malahan pada tahun 1995, oleh DPRD dan pemerintah kabupaten kepulauan Sangihe-Talaud, tanggal 31 Januari telah ditetapkan dengan Perda sebagai hari jadi Sangihe Talaud dengan inti acara upacara Tulude.

 

Ritual adat tulude ini, ada berbagai konten adat yang dilakukan. 

 

1. Dilaksanakan pembuat kue adatTamo di rumah seorang tokoh adat semalam sebelum hari pelaksanaan upacara.  

 

2.Penjadwalan atau agenda pasukan pengiring, penari tari Gunde, tari salo, tari kakalumpang, tari empat wayer, kelompok nyanyi masamper,
 

3. Penunjukan tokoh adat pemotong kue adat tamo, penyiapan tokoh adat pembawa ucapan Tatahulending Banua, tokoh adat pembawa ucapan doa keselamatan, seorang tokoh pemimpin upacara yang disebut Mayore Labo.

 

4. Penyediaan  kehadiran Tembonang u Banua (pemimpin negeri sesuai tingkatan pemerintahan pelaksanaan upacara seperti kepala desa, camat, bupati/walikota atau gubernur) bersamaWawu Boki (isteri pemimpin negeri) serta,

 

5. Memberi undangan kepada seluruh anggota masyarakat untuk hadir dengan membawa makanan untuk acara Saliwangu Banua (pesta rakyat makan bersama).


Acara pelaksanaan upacara adat Tulude adalah sore hari hingga malam hari selama kurang-lebih 4 jam.

 

Pada 4 jam ini dihitung mulai dari acara penjemputan kue adat Tamo di rumah pembuatan lalu diarak keliling desa atau keliling kota untuk selanjutnya dibawa masuk ke arena upacara. 

 

Pada awalnya kue Tamo ini di bawah masuk ke arena upacara, Tembonang u Banua (Kepala Desa, Camat, Walikota/Bupati atau Gubernur wajib sudah berada di bangsal utama untuk menjemput kedatangan kue adat ini. Disitu akan ada hajatan Tulude.


2. BUDAYA BAHARI

Kota Kepulauan Sangihe, Talaud dan Sitaro (satas) Nusa Utara adalah sebutan untuk pulau-pulau di antara sulawesi dan Mindano disebut Sangihe (Suku Sangir dan Talaud).  Serta sangir, Sangil, Sangiresse (Sangihe) adalah nama etnis yang hidup di Indonesia dan Phlipina Selatan. 

 

Suku ini sudah sejak purbakala dikenal oleh bangsa-bangsa luar karena memeliki kehebatan dalam mengarungi lautan. 

 

Asal usul Sangir atau Sangihe terdiri dari dua suku kata yaitu berasal dari kata Sangi, Muhunsangi, Sangitang, Masangi yang berarti menangis, tangisan juga Sang dan ir ; Sang merujuk pada Sangiang artinya Putri Khayangan(Bidadari) sedangkan Ir berati air dalam hal ini lautan atau ihe berarti emas, Sejalan dengan tulisan kuno di daun lontar yang dimiliki oleh suku Bugis-Makasar dinyatakan bahwa Utara penuh dengan Emas Permata.


Tulisan Sangir merujuk pada beberapa tempat suku bangsa yaitu di Jawa, Sunda, dan sumatera bahkan di Madagaskar, India, Amerika Latin. 

 

Etnis bangsa ini memiliki banyak kerajaan seperti terungkap dalam buku Kakawin Negara Kertagama eleh Empu Prapanca pada tahun 1365 disebut Udamakataraya dan pulau-pulaunya dalam terjemahan Moh. Yamin 1969. Oleh orang China (Thionghoa) disebut dengan Shao San. 

 

Tanda mata Portugal dan Spangol di sebut Sang Gil, Jepang menyebutnya San. Etnis bangsa atau etnis ini memeliki bahasa yakni Bahasa Sangir/Sangihe. 

 

Suku ini dikenal sebagai suku bangsa pelaut yang terkenal sejak jaman purba-kala karena keberaniannya mengarungi lautan.


Tata bicara sangir kaya akan kesusastraan, memiliki bahasa purba contoh berbicara tentang laut. 

Pada bahasa sangir Tagharoa berati laut bebas juga berarti laut secara keseluruhan dalam hal ini merujuk pada saat ketika bumi ini belum terbagi dalam beberapa benua atau lautan disebut Benua Pagea dan lautan disebut Panthalusso. 

Sagara atau perairan laut disebut juga dalam bahasa Sasahara (bahasa Kuno/Purba Etnis Sangir Talaud)dengan Badoa, Boba, Elise laut yang tidak dalam sehingga nampak(muncul) terumbuh karang, saat ini laut/ sagara disebut dengan Laude atau Sasi merujuk pada air asin.


Gelombang laut dalam bahasa sangir disebut Lua yaitu gelombang laut yang pecah dipinggiran pantai, Bentare menunjuk pada ombak yang pecah dipermukaan air laut dalam (umum), Belade = gelombang yang besar pecah di lautan luas(Tagharoa), Birorong = gelombang yang tidak pecah dilaut antara boba yaitu laut yang bening kebiru-biruan yang dalam dan elise laut dangkal sehing tampak (muncul)terumbu karang, sedangkan arus laut disebut Selihe. 

 

Ketika  air laut pasang disebut Sahe sedangkan air pasang disebut dengan Lanabe. Batu karang disebut Husso/Russo, Himang, Napong.
 

Jenis perahu yang dimiliki Sangihe berbagai jenis, bahasa sangir saat ini perahu disebut Sakaeng sedangkan bahasa purba disebut dengan Pato.

 

Adapun tipe-tipe perahu terdiri dari : Sikuti, Tumbilung,Dorehe, Sope, Bininta,Konteng, Giope, Pamo, Bolutu, Senta, Lambutem, Dampala, Pelang, Londe, Korakora, Balasoa, Tonda, Niune, Panku/Pantu. Tidak  termasuk nama-nama perahu yang dikenali dalam bahasa Sasahara: malimbatangeng, bangka, paro, dan dalukang. Sedangkan bahasa Sasahara adalah bahasa Sangihe yang dipakai khusus oleh pelaut sewaktu berlayar, dan juga dipakai sebagai bahasa Sastra.

 

Sebanyak dari nama perahu itu, kita dapat mengenali beberapa pinjaman kata dari kebudayaan luar, misalnya sope dan lambuti yang dikenal dalam bahasa Bugis dan Makassar sebagai soppe dan lamboh. 

 

Begitu  pula panku, bangka, dan bininta yang mirip dengan Panco dan Vinta dari Filipina Selatan dari (Sangil). Nama perahu yang dikenal luas dalam bahasa-bahasa Austronesia (mangkas, wangkang,dansebagainya)sebenarnya disebut juga Bangka.

 

Begitu pula bahasa yang disebut Sasalili mis : ular disebut sehari-hari disebut Tempu (kuno Katoang) dalam bahasa salili disebut dengan hamu artinya akar sedang binantang buas disebut dengan Yupung artinya nenek moyang.