Ilmuwan Ungkap Penyebab Orang Tidak Percaya Tuhan

 

Ilmuwan Ungkap Penyebab Orang Tidak Percaya Tuhan

NIKEKUKO.com - Orang-orang yang dibesarkan tidak cukup religius cenderung tumbuh sebagai pribadi yang tidak percaya adanya Tuhan alias atheis. Setidaknya demikian menurut penelitian terbaru.

Penelitian yang diterbitkan di Social Psychological and Personality Science ini menunjukkan bahwa transmisi budaya, atau ketiadaannya, adalah faktor kuat ketidakpercayaan agama dibandingkan faktor-faktor lain, seperti tumbuhnya pemikiran analitis.

"Para peneliti telah mengajukan banyak teori berbeda tentang bagaimana agama bekerja, mengapa kita memilikinya, dan semacamnya. Saya pikir atheisme adalah cara yang ideal untuk mengevaluasi teori-teori ini. Mereka cenderung memprediksi hal yang sangat berbeda tentang apa yang seharusnya berhubungan dengan atheisme," jelas Will Gervais, dosen senior psikologi di Brunel University London.

Dalam penelitian ini, Gervais dan rekan-rekannya menyurvei sampel 1.417 penduduk Amerika Serikat (AS) secara nasional. Survei tersebut termasuk Skala Keyakinan Supernatural (Supernatural Beliefs Scale), yang menilai sejauh mana orang memegang keyakinan supernatural dan meminta para peserta untuk menunjukkan apakah mereka percaya pada Tuhan.

Para peserta juga menyelesaikan penilaian psikologis tentang kemampuan mengambil perspektif, perasaan keamanan eksistensial, paparan isyarat religiusitas yang kredibel, dan gaya kognitif reflektif versus intuitif.

Para peneliti menemukan bukti bahwa kurangnya paparan terhadap visual kepercayaan agama yang meningkatkan kredibilitas adalah prakiraan utama ateisme. Dengan kata lain, mereka yang memiliki pengasuh yang dengan setia mencontohkan keyakinan agama mereka, seperti melakukan ibadah, atau bertindak adil kepada orang lain karena agama mereka mengajarkan demikian, cenderung tidak menjadi atheis.

"Pentingnya budaya yang ditransmisikan dan pembelajaran budaya yang bias konteks sebagai prakiraan kepercayaan dan ketidakpercayaan tidak dapat dilebih-lebihkan. Ketika digabungkan, penelitian ini menunjukkan bahwa jika Anda menebak apakah individu itu percaya (Tuhan) atau tidak, Anda lebih baik mengetahui bagaimana orang tua mereka berperilaku," tulis para peneliti dalam artikel mereka.

Peserta dengan gaya kognitif reflektif hanya sedikit lebih rentan terhadap ketidakpercayaan beragama, sementara mereka yang memiliki kemampuan mengambil perspektif yang lebih baik sedikit lebih rentan terhadap keyakinan agama. Para peneliti tidak menemukan hubungan yang signifikan antara keamanan eksistensial dan ketidakpercayaan agama.

"Banyak orang, (khususnya atheis) suka berbicara tentang bagaimana atheisme berasal dari pemikiran yang rasional dan penuh usaha. Penelitian ini menguatkan survei terbaru lainnya dalam menemukan bahwa pendapat tersebut tidak terlalu akurat," kata Gervais.

"Perkiraan terbaik kami adalah bahwa atheisme sebagian besar berasal dari pembelajaran budaya, isyarat spesifik yang kita hadapi saat tumbuh dewasa tentang betapa tulusnya orang-orang di sekitar kita percaya kepada Tuhan. Setelah masukan budaya tersebut diperhitungkan, perbedaan individu dalam refleksi kognitif yang lebih analitis memprediksi sedikit variasi permukaan. Tetapi itu adalah bagian kecil dari teka-teki ini," tulis peneliti.

Meski demikian, peneliti mengingatkan bahwa studi ini, seperti semua studi pada umumnya, mencakup beberapa keterbatasan.

"Pekerjaan kami hanya melihat orang-orang di AS, yang dalam banyak hal adalah tempat yang aneh. Dan meskipun hasil kami sangat mirip dengan hasil dari tempat-tempat seperti Republik Ceko dan Slovakia, masih banyak yang belum kami ketahui tentang bagaimana agama dan atheisme bekerja di luar gelembung Barat yang membentuk sebagian besar penelitian ilmu sosial," jelas Gervais.

Ditambahkan Gervais, saat melakukan penelitian ini, sambil berdiskusi dengan kelompok atheis, dia selalu menemukan ketidaksesuaian antara narasi orang tentang atheisme mereka dan penelitian yang dilakukan.

"Begitu banyak orang tampaknya benar-benar yakin bahwa mereka atheis karena mereka super rasional dan berpikiran sains. Tapi penelitian kuantitatif skala besar pada dasarnya tidak pernah menunjukkan hal ini menjadi prediktor utama ateisme. Saya berupaya memecahkan teka-teki ini, dan tidak pernah puas dengan itu," ujarnya.