Pertama Kali Dunia Internasional Mengenal Suku Rejang

 

rejang lebong pertama

 

Nikekuko.com - Dalam perjalan sejarah tertua mengenai subsuku Tubei adalah The History of Sumatra karya William Marsden, terbit tahun 1783. Ia menyebutkan bahwa suku Rejang memiliki empat subsuku, salah satu di antaranya adalah Toobye. Keempat subsuku ini disebutkan oleh Marsden berasal mula dari daerah yang sekarang merupakan wilayah Lebong.

Sejarah warisan peninggalan dan penggunaan nama
 

Adapun kecamatan Tubei adalah lokasi "Kota Tubei" yang merupakan pusat pemerintahan kabupaten Lebong. Dengan namanya berasal dari salah satu petulai Rejang ini. Dari pada itu di pusat pemerintahan tersebut juga terdapat Pengadilan Negeri Tubei, yang mengambil alih yuridiksi Pengadilan Negeri Curup atas wilayah Lebong yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Rejang Lebong.

Tanah Rejang (bahasa Rejang: Tanêak Jang, Tanêah Hêjang) yakni istilah yang dipakai untuk menunjukkan daerah kediaman dan daerah persebaran suku Rejang serta pengaruh teritorial dan budaya mereka, termasuk di dalamnya luak dan Ulau Bioa. Pada masa sekarang, wilayah Tanah Rejang berada di wilayah administrasi Provinsi Bengkulu dan Provinsi Sumatra Selatan. Hal ini menyebabkan tanah Rejang di wilayah administrasi Provinsi Bengkulu lebih luas dibanding dengan yang berada di wilayah administrasi Provinsi Sumatra Selatan.

Dilansir dari sumber buku The History of Sumatra karya William Marsden, seorang sekretaris dari Presiden Benteng Marlborough, Tanah Rejang disebut sebagai Redjang Country yang secara harafiah bermakna Negeri Rejang. Kata yang sama dipergunakan oleh M.A. Jaspan yang meneliti teks Rikung. Marsden mengatakan bahwa suku bangsa Rejang mendiami wilayah atau tanah yang disebut Redjang Country (Negeri Rejang).

Letak Geografi

Daerah pesisir di Bengkulu Utara dan Bengkulu Tengah, dataran rendah, dan Bukit Barisan bagian dari tanah Rejang. Sedangkan Bukit Barisan, terdapat dua luak yang merupakan pusat budaya Rejang, masing-masing Luak Lêbong dan Luak Uleu Musei. Wilayah ini dikenal dengan persawahan, perkebunan kopi, dan pertanian sayur-mayur.  Adapun sungai Musi, Rawas, dan Ketahun yakni tiga sungai utama yang mengalir di tanah ini.  Sedangkan masyarakat Rejang yang berdiam di sepanjang aliran Sungai Musi umumnya berbahasa Rejang menggunakan dialek Musei (Musi). Lantas yang tinggal di kepala Sungai Rawas berbahasa Rejang dalam dialek Awês atau Abês (Rawas). Kita bisa jumpai di sepanjang hulu Ketahun, bermukimlah masyarakat Rejang yang menggunakan dialek Lêbong. Sepanjang ke hulu sadêi (kampung) seseorang, maka mereka dikenal sebagai orang Ai atau orang hulu. Dan semakin ke hilir, maka dikategorikan sebagai orang Lot.

Apakah Suku Rejang memiliki Marga?


Sedangkan masyarakat di Tanah Rejang terbagi ke dalam beberapa marga yang mendiami Bengkulu dan Sumatra Selatan. Hal ini marga tidak dipahami sebagai suatu klan atau suatu masyarakat adat yang didasarkan atas hubungan darah (genealogis). Akan tetapi, lebih kepada suatu masyarakat adat yang berdasarkan teritorial, meskipun di antara mereka masih memiliki pertalian darah. Sebab itu Tanah Rejang dan wilayah marga-marga luasnya melebihi luas daerah penutur bahasa Rejang itu sendiri.

Pada marga-marga di Tanah Rejang bukanlah budaya asli daerahnya. Oleh karena masyarakat Rejang sebelumnya tak pernah mengenal konsep marga. Timbul dan adanya marga di daerah ini adalah buah kerja J. Walland yang merupakan seorang Asisten Residen Belanda di Keresidenan Palembang yang dipindah tugaskan ke Bengkulu pada tahun 1861. Pada wilayah Keresidenan Palembang pada masa itu memang telah terdapat marga-marga teritorial yang dibina sejak masa Kesultanan Palembang dan kebetulan terus dilestarikan oleh Pemerintah Kolonial. Pada saat J. Walland sudah resmi menjabat, ia mulai membagi-bagi wilayah di Bengkulu termasuk wilayah Rejang dan daerah pengaruhnya ke dalam marga-marga teritorial. Hal ini adanya keperluan administrasi diangkatlah seorang kepala marga yang diberi gelar pasirah.
 

Tentunya sebelum tahun 1861 Keresidenan Bengkulu tidak mengenal sistem marga. Terbukti adanya diperkuat oleh fakta-fakta sejarah yang terangkum sebagai berikut.

  • 1775-1779, John Marsden Residen Inggris di Lais, Bengkulu Utara tidak pernah menyebut istilah marga. Istilah itu juga tidak termaktub dalam karya besar William Marsden mengenai sejarah Sumatra—The History of Sumatra—terbitan tahun 1783.
  • 1818-1824 Sir Thomas Stamford Raffles, Wakil Gubernur Jenderal di Bengkulu tidak pernah menyebut istilah marga. Istilah itu juga tidak termaktub dalam Memoir of the Life and Public Services of Sir Th. St. Raffles by His Widow terbitan tahun 1820.
  • 1831-1833 J.H. Knoerle, Asisten Residen Belanda di Bengkulu tidak pernah menyebut istilah marga. Istilah itu juga tidak termaktub dalam notanya yang berjudul Aanteekeningen gehouden op een reis in de binnenlanden van Sumatra enz. De Oosterling 1832.
  • 1915-1919 L.O. Westenenk, Residen Belanda di Bengkulu dalam Memorie van Ovsgrave'-nya juga menyatakan bahwa nama marga di Bengkulu dan Rejang tidak terdapat sebelum pertengahan abad kesembilan belas masehi.